Twitter

Archive for March 2013

Sejarah Perkembangan Islam

Sejarah perkembangan Islam berlanjut setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Berbagai kerajaan Islam bermunculan dan berkembang hingga ke Samudra Atlantik di barat dan Asia Tengah di Timur. kemunculan beberapa kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan besar di dunia. 

Seiring dengan perkembangan berbagai kerjaan bercorak Islam yang bermunculan, maka seiring itu pula banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Kemunculan para ahli sains dari kerajaan Islam tersebut tidak terlepas dari banyaknya pendirian sekolah-sekolah.

Sejarah Islam di Indonesia

Menelisik sejarah Islam di Indonesia, maka hingga saat ini ada sekitar 6 pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia. Adapun pendapat-pendapat tersebut menyebutkan tahun kedatangan Islam masuk ke Indonesia bervariasi dari abad ke-7 hingga abad ke-13.

Berbagai pendapat-pendapat tentang tahun kedatangan Islam beserta perkembangannya di Indonesia dikemukakan oleh berbagai tokoh dan peneliti. Berikut ini adalah 6 pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.

Pendapat Pertama 
Menurut pendapat Hamka, yaitu salah seorang tokoh Muhammadiyah dan juga mantan ketua MUI periode 1977-1981, menyebutkan bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7. Hamka yang bernama asli Haji Abdul Malik bin Abdil Karim menyatakan pendapat tentang kedangan dan perkembangan Islam di Indonesia berdasarkan fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi'i.

Menurut Hamka, mahzab Syafi'i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu dia juga menyebutkan bahwa fakta tentang yang tidak boleh diabaikan terkait hal ini, yaitu tentang keberadaan orang-orang Arab yang sudah mampu berlayar mencapai Cina pada abad ke-7. Hamka percaya bahwa dalam perjalanan tersebut, para pelayar dari Arab juga sudah mulai singgah di kepulauan Nusantara.

Pendapat Kedua
Seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda bernama Poortman menyimpulkan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina yang bermahzab Hanafi.

Kesimpulan tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia oleh Poortman tersebut didapatkan dari penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Selain dari penelitian dari kedua naskah tersebut dia juga telah melanjutkan penelitian terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang.

Adapun hasil penelitian dari Poortman tersebut disimpan dengan keterangan 'Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore' yang berarti 'Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor'. Hasil penelitian Poortman itu sendiri saat ini telah disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haag.

Pendapat Ketiga

Seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda bernama Snouck Hurgronje yang mengambil pendapat dari Pijnapel, yaitu seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia, menyimpulkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.

Pendapat ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette, yaitu seorang peneliti bentuk nisan kuburan raja-raja pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih, dan juga Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Adapun hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik ternyata memiliki bentuk yang mirip dengan nisan-nisan kuburan yang berada di Cambay, Gurajat.

Pendapat Keempat

S.Q. Fatimi adalah salah seorang yang berpendapat tentang sejarah Islam di Indonesia dan sekaligus menyanggah pendapat kedatangan Islam di Indonesia yang dikemukakan oleh Muquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje. Fatimi berpendapat bahwa nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan dan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.

Lebih lanjut Fatimu juga percaya bahwa pengaruh-pengaruh Islam di Benggala sangat banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara pada zaman dahulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia sebenarnya berasal dari Bangladesh.

Pendapat Kelima

G.E. Marrison juga seorang yang pernah mengemukakan pendapat tentang keberadaan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam pendapatnya tersebut Marrison juga menyanggah pendapat Moquette, bahkan dia sendiri malah yakin, jika Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Adapun sebagai alasannya adalah karena pada abad ke-13M, Gujarat masih menjadi bagian dari kerajaan Hindu, sementara di Pantai Coromandel, Islam telah berkembang.

Morrison juga memperkirakan bahwa pembawa dan penyebar Islam yang pertama masuk ke Indonesia adalah para Sufi dari India. Para Sufi tersebut menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M, dimana waktu itu terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.

Adapun pernyerbuan yang dimaksud adalah penyerbuan yang memaksa banyak para Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.

Pendapat Keenam
Pendapat keenam tentang masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan oleh Hoesein Djajaningrat. Djajaningrat juga dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).

Menurut Djajaningrat, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Adapun sebagai alasan Djajaningrat mengemukakan pendapat tersebut adalah berdasarkan peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.

Djajaningrat juga meyakini pendapat tersebut, karena pengaruh bahasa Persia juga masih dapat ditemukan dibeberapa tempat di Indonesia. Selain itu keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.

Kesimpulan

Terlihat berbagai perbedaan pendapat tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia oleh berbagai tokoh dan juga para peneliti. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat.

Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat mereka dapat dikatakan lebih logis, meski dapat juga menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13, yaitu lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.

Begitu juga dengan pendapat Residen Poortman. Meski pendapatnya tersebut berdasarkan catatan-catatan dari Cina yang tersimpan bertahun-tahun, tetapi masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernytaan tertulis yang ada di dalamnya. Selain itu bisa pula ada kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan pembaca.

Adapun pendapat Hamka bahkan akan lebih mudah untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Adapun pendapat yang dikemukakan oleh Hamka hanya berdasarkan pikiran-pikiran pribadi yang tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Oleh demikian maka sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.

Begitupula dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.

Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang kemungkinan bakalan ada.


Syarat-syarat Akikah / Aqiqah


Pertama, Sifat Sembelihan yang Layak (Sah) Sebagai Akikah (Aqiqah)
 Imam Nawawi ra berkata dalam kitabnya, al-Majmu', "Hewan yang layak (sah) disembelih sebagai Akikah (Aqiqah) adalah domba yang dewasa dan kambing yang dewasa yang sudah memiliki gigi seri (gigi depan). 

Domba dan kambing itu harus selamat dari cacat. Karena Akikah (Aqiqah) adalah mengalirkan darah secara syar'i (sesuai dengan ketentuan Islam) maka sifat-sifat hewan yang disembelih untuk Akikah (Aqiqah) sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih untuk kurban, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad sahih sahih bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata "Rasulullah mengaqiqahkan Hasan da Husain masing-masing dengan seekor domba."

Berdasarkan hadis di atas, sifat-sifat hewan yang disembelih sebagai Akikah (Aqiqah) harus sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih sebagai kurban. 

Untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing sebagai aqiqahnya dan untuk anak perempuan satu ekor saja. Hadis-hadis yang menjelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing adalah hadis-hadis yang memiliki kelebihan (jika dibandingkan dengan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan satu kambing). 

Oleh karena itu, hadis-hadis yang dijelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing lebih layak diterima. Hal ini diperkuat lagi oleh perkataan Ibnu Abbas ra. "bahwa Rasulullah Saw mengakikahkan (Hasan dan Husain) masing-masing dua ekor domba." 

Kedua, Waktu Penyembelihan Hewan Aqiqah 
Menurut sunnah Nabi, penyembelihan hewan akikah (Aqiqah) dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahirannya dengan menghitung hari kelahirannya. Jadi, hewan akikah (Aqiqah) disembelih pada hari keenam, jika hari kelahiran tidak dihitung. Apabila sang anak dilahirkan pada malam hari maka dihitung dari hari setelah malam kelahiran itu. 

Penyembelihan hewan akikah (Aqiqah) dilaksanakan pada hari ketujuh, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abdullah ibn Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi Saw, beliau bersabda, "Hewan akikah (Aqiqah) itu disembelih pada hari ketujuh, hari keempat belas, dan hari kedua puluh satu.

Menurut penganut Mazhab Hanbali, akikah (Aqiqah) disembelih pada hari ketujuh dan seterusnya, kelipatan tujuh. Mereka memiliki beberapa riwayat (yang dapat dijadikan dalil). 

Sedangkan menurut penganut Mazhab Syafi'I disebutkan bahwa penyebutan tujuh itu untuk ikhtiyar (pilihan) bukan keharusan. Rafi'I menambahkan bahwa waktu penyembelihan hewan akikah (Aqiqah) dimulai dari kelahiran bayi. 

Imam Syafi'i berkata, "Makna hadis itu adalah penyembelihan akikah (Aqiqah) diusahakan tidak ditangguhkan hingga melewati hari ketujuh. Namun jika memang belum sempat berakikah sampai sang bayi telah mencapai usia baligh, maka gugurlah tanggung jawab orang yang seharusnya mengakikahkannya. Tetapi, jika sang anak ingin berakikah untuk dirinya sendiri maka ia boleh melakukannya. 

Ada ulama yang mengatakan, "Tanggung jawab untuk mengakikahkan tidak hilang walaupun tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, namun disunnahkan agar tidak terlambat sampai usia balig." 

Imam an-Nawawi berkata, "Aku Abdillah al-Busyihi, salah seorang imam dalam mazhab kami berkata, "Jika tidak sempat menyembelih pada hari ketujuh maka di hari keempat belas, (jika belum juga dilaksanakan) maka di hari kedua puluh satunya, demikian terus pada kelipatan tujuh." 

Ketika akan menyembelih hewan akikah (Aqiqah), orang yang menyembelih disunnahkan membaca, Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad hasan, dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw menyembelih hewan akikah (Aqiqah) untuk Hasan dan Husain, dan beliau bersabda. "Ucapkanlah, Dengan Nama Allah. Ya Allah, untuk-Mu dan kepada-Mu akikah si Fulan.

Namun, jika bacaannya dipendekkan dengan hanya mengucap bismillah maka itu lebih utama karena kesahihan hadis di atas masih diperdebatkan.

Disunnahkan juga memisah-misahkan anggota badan hewan akikah (Aqiqah), dan dilarang meremukkan tulang-tulangnya. Ada dua hikmah dari hal tersebut, yaitu: 

Pertama, sebagai penghormatan terhadap orang-orang miskin dan para tetangga yang diberikan hidangan atau hadiah berupa daging akikah (Aqiqah), yaitu dengan memberikan potongan besar yang sempurna yang tulangnya tidak dipecah dan dagingnya tidak dikurangi. Tidak diragukan bahwa cara penyajian dan pemberian seperti ini merupakan penghormatan bagi orang-orang yang menerima. 

Kedua, oleh karena kedudukan akikah sebagai tebusan untuk menebus sang bayi maka dianjurkan tulangnya tidak usah dipotong-potong, untuk mengharap keberkahan (dari Allah SWT juga dengan harapan agar anggota-anggota tubuh si bayi menjadi sehat dan kuat. Wallahu a'alam

Ketiga, Apa yang Dilakukan Setelah Penyembelihan? 
Setelah penyembelihan hewan selesai, hendaknya kaum Muslimin waspada, jangan sampai melumuri kepala bayi dengan darah hewan akikah (Aqiqah), karena hal itu merupakan kebiasaan kaum Jahiliyah. Akan tetapi, hendaknya kepala bayi tersebut dilumuri dengan minyak za'faran. 

Disunnahkan memakan hewan akikah (Aqiqah), boleh juga menghadiahkannya atau menyedekahkannya kepada orang lain, karenaakikah (Aqiqah) adalah menyembelih hewan yang hukumnya sunnah maka hukumnya sama dengan hewan kurban.

Rafi'I berkata, "Sunnah memberikan bagian kaki dari hewan akikah (Aqiqah) kepada bidan atau dokter (yang membantu proses kelahiran) sebagaimana yang disebutkan dalam sunnah al-Baihaqi, dari Ali r.a. bahwa Rasulullah Saw memerintahkan Fatimah ra. "Timbanglah rambut al-Husain, kemudian bersedekah dengan perak (seberat rambut yang ditimbang) dan berikanlah bagian kaki hewan akikah (Aqiqah) kepada wanita yang membantu proses kelahiran." (Diriwayatkan secara mauquf sampai pada Ali r.a.) 

Disunnahkan juga memasak daging hewan akikah (Aqiqah) sehingga masakannya menjadi manis, dengan harapan agar sang bayi kelak memiliki akhlak yang baik dan terpuji.


Bulan yang ditunggu-tunggu seluruh umat islam di seluruh dunia adalah bulan ramadhan. Dalam waktu satu bulan, umat islam di beri kesempatan oleh Allah untuk beribadah sebanyak-banyaknya di mana pahala ibadah yang dilakukan akan dilipatgandakan pahalanya dibandingkan pahala ketika ibadah dilaksanakan di bulan selain ramadhan. Setelah sebulan melaksanakan puasa, tiba saatnya untuk merayakan kemenangan menyambut hari raya idul fitri. Namun jangan pernah lupa untuk juga menunaikan kewajiban lainnya setelah puasaramadhan yaitu, membayar zakat fitrah.
zakat fitrah maal 300x271 Ketentuan Zakat Fitrah
Kata zakat fitrah datang dari kata al-fithr (berbuka), sebab dari al-fithr inilah dinamakan zakat fitrah. Seandainya akhir dari ramadhan adalah karena dari penamaan ini, lantas zakat ini berkenaan dengannya dan tak bisa mendahuluinya (dari berbuka masuk syawal). Dari Ibnu Abbas RA, “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat id, maka itu adalah sedekah biasa (bukan zakat fitrah).” (Hasan: Shahihul Ibnu Majah).
Oleh karena itu, waktu yang sangat utama saat mengeluarkannya yakni sebelum saat shalat idul fitri. Namun diperbolehkan untuk mendahului (saat mengeluarkannya) satu hari atau dua hari sebelum saat shalat idul fitri untuk keleluasaan bagi yang mengasih dan yang mengambil. Namun zakat fitrah yang dikerjakan sebelum saat hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kelompok para ulama adalah tak sah. Hukum zakat fitrah adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan, baik tua maupun muda.
Syarat zakat fitrah itu berbentuk makanan pokok masyarakat sekitar tempat tinggal. Pada saat saat ini yaitu kurma, gandum, dan beras. seandainya kita tinggal di dalam masyarakat yang mengonsumsi jagung, lantas kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan). Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘Anhu : “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada saat rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ( seukuran ) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami merupakan kurma, gandum, kismis, dan aqith“. Dari hadis tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa perhitungan zakat fitrah merupakan satu sha’ makanan pokok.
Menurut yusuf al-qaradhawi didalam kitabnya fiqh az-zakah, hikmah zakat fitrah itu sekurang-kurangnya ada dua macam keutamaan yaitu, membersihkan diri pribadi bagi tiap-tiap muslim, khususnya orang-orang yang berpuasa, dari perkataan yang kotor dan omongan yang tak berguna, dan keutamaan kedua adalah memberikan makanan pada orang-orang miskin. ( HR abu dawud, ibnu majah, daruquthni, dan hakim ). Di Indonesia pembayaran 1 sha’ zakat fitrah disepakati setara dengan 2,5 kilogram beras. Jika harga beras per kilogram adalah Rp 9.000, maka harga 2,5 kg beras adalah Rp 22.500.
Sebelum menunaikan zakat fitrah alangkah afdolnya bila kita melafalkan doa zakat fitrah terlebih dahulu. Adapun  doa tersebut dapat anda baca dan hafalkan layaknya yang tercantum di bawah ini. Doa ini amat penting saat kita membayar zakat fitrah, walau sebatas satu tahun sekali, tetapi zakat fitrah amat penting dan wajib. Berikut doa yang dapat anda baca : “Nawaitu an-ukhrija zakaatal fithri ‘annafsii fardhan lillahi ta’aalaa.” Artinya : sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, fardhu sebab allah ta’ala.


Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.
Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]
Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits
Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)
Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar mengatakan,
الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]
Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]
Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail  bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا
Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inihasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.
Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]
Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak
Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”[10]
Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]
Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Allah SWT menyebut sedekah sebagai “pinjaman yang baik” (qardhul hasan). Orang bersedekah hakikatnya meminjamkan harta kepada Allah dan Dia pasti akan mengembalikan pinjaman dengan pengembalian yang berlipat ganda.

Para mufasir menerjemahkan “pinjaman yang baik” itu dengan makna “menafkahkan harta di jalan Allah”, yakni menyumbangkan harta untuk meringankan beban orang lain, seperti kaum dhuafa, atau mendanai syiar dakwah dan jihad di jalan Allah.

Sejumlah ayat Quran dan hadits di bawah akan sedikit memberikan petunjuk serta penjelasan tentang keutamaan sedekah, mulai bertambahnya harta kekayaan, hingga keajaiban sedekah yang mampu menyembuhkan penyakit - atas izin Allah.

Ayat-Ayat Sedekah”Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (pembayarannya oleh Allah) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS.Al-Hadid:18)

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan yang banyak, dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al-Baqarah: 245)

“Dan apakah (kerugian) yang akan menimpa mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta mereka mendermakan (sedekah) sebagian dari harta yang telah dikurniakan Allah kepada mereka?” (QS. An-Nisa:39).

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali (bisik-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah atau berbuat kebaikan atau mendamaikan di antara manusia dan sesiapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keridaan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang amat besar” (QS. An-Nisa:114).

“Wahai orang-orang yang beriman! Sebarkanlah sebahagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kamu, sebelum tibanya hari (kiamat) yang tidak ada jual beli padanya dan tidak ada kawan teman (yang memberi manfaat), serta tidak ada pula pertolongan syafaat dan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Baqarah:254).

Hadits-Hadits Sedekah“Sesungguhnya sedekah seseorang walau hanya sesuap, akan dikembangbiakkan oleh-Nya seperti gunung, maka bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Harta itu tidak akan kurang dengan disedekahkan.” (HR. Imam Muslim).

Dari Ali bin Abi Thalib r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Segeralah bersedekah, sesungguhnya musibah tidak dapat melintasi (mendahului) sedekah.” (Razin, Misykât). Ali berkata: "Pancinglah rezeki dengan sedekah." “Setiap awal pagi saat matahari terbit, Allah menurunkan dua malaikat ke bumi. Lalu salah satu berkata, ‘Ya Allah, berilah karunia orang yang menginfakkan hartanya. Ganti kepada orang yang membelanjakan hartanya karena Allah’. Malaikat yang satu berkata, ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang yang bakhil.” (Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah). [Giving Insight, edisi Mei-juni 2012] | foto



assalamualikum wr wb.... 
Pada postingan kali ini kembali saya akan membagi sedikit tentang FADILLAH (KEUTAMAAN) SURAT YAASIN, setelah pada postingan sebelumnya saya telah mengepostkan tentang Keutamaan Surat Al-Ikhlas, Al-falaq dan An-Nass, dan Kandungan surat Al-Patihah


Dijelaskan dalam kitab “tafsir surat yasin” bahwa surat yasin mempunyai keutamaan keutamaan sebagai berikut:
ü 
Apabila ada orang lapar lalu ia membaca surat yasin dengan khusuk maka allah mengenyangkanya
ü  Apabila ada orang yang susah lalu membaca surat yasin maka allah menghilangkan kesedihannya
ü  Apabila ada orang yang mempunyai hajad maka allah akan mengabulkan hajadnya
ü  Apabila surat yasin dibaca pada waktu pagi, Maka allah akan melindunginya sampai waktu sore
ü Apabila surat yaasin dibacakan untuk suatu kaum maka kaum tersebut akan terbebas dari penyakit, wabah dan malapertaka.
ü  Apabila surat yaasin dibaca pada waktu malam maka allah akan melindunginya hingga waktu pagi.
ü  Apabila ada orang jahat dibacakan surat yaasin maka siksa dialam kubur akan diringankan oleh allah
ü  Apabila orang bail dibacakan surat yaasin maka rohnya tenang di alam kubur
Dengan melihat beberapa keistimewaan surat yaasin tersebut maka rasullah saw bersabda:
Maka banyak banyaklah membaca surat ini (surat yaasin) sesungguhnya didalamnya terdapat keistimewaan yang banyak.
Surat yaasin ini menjadi bacaan penduduk syurga. Oleh karena itu jika kita ingin mudah masuk syurga maka perbanyaklah membaca surat yaasin pada khususnya dan al-qur’an pada umumnya.
Rausulullah saw bersabda: sesungguhnya ahli syurga itu hanya membaca surat thaha, yaasin dan ar-rahaman.

inilah sedikit tentang  FADILLAH (KEUTAMAAN) SURAT YAASIN, semoga ada manfaatnya unutk kita dalm menjalankan hidup didunia ini.

sholat dhuha :adalah salah satu dari sekian macam shalat sunnah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk dilakukan selain shalat tahajud, shalat sunnah rawatib, shalat witir, dan lain-lain. Antara ibadat sunat yang dianjurkan dan menjadi amalan Rasullullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri ialah sembahyang sunat Dhuha. Banyak hadis-hadis yang mengalakkannya dan menyatakan keutamaannya, Antaranya dalam riwayat Abu Hurairah katanya:-
Maksudnya :”Kekasihku Rasullullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam telah berwasiat kepadaku tiga perkara, aku tidak meninggalkannya, iaitu ; supaya aku tidak tidur melainkan setelah mengerjakan witir, dan supaya aku tidak meninggalkan dua rakaat sembahyang Dhuha kerana ia adalah sunat awwabin, dan berpuasa tiga hari daripada tiap-tiap bulan” - Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim
Waktu Shalat Dhuha ialah dari naik matahari sampai sepenggalah dan berakhir di waktu matahari tergelincir tetapi disunatkan dita’khirkan sehingga matahari naik tinggi dan panas terik. Cara menunaikannya pula adalah sama seperti sembahyang-sembahyang sunat yang lain iaitu dua rakaat satu salam. Boleh juga dikerjakan empat rakaat, enam rakaat dan lapan rakaat. Menurut sebahagian ulama.

Jumlah rakaatnya tidak terbatas dan tidak ada dalil yang membatasi jumlah rakaat secara tertentu.
Di dalam kitab “An-Nurain” sabda Rasullullah SAW yang maksudnya : “Dua rakaat Dhuha menarik rezeki dan menolak kepapaan.”
Dalam satu riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya :
“Barangsiapa yang menjaga sembahyang Dhuhanya nescaya diampuni Allah baginya akan segala dosanya walaupun seperti buih dilautan.” – Riwayat Ibnu Majah dan At-Tirmidzi
Hadis-hadis diatas jelas menunjukkan tentang kelebihan solat sunat dhuha dan betapa besar ganjarannya apabila kita menunaikan solat sunat dhuha dan sentiasa beristiqamah dengan solat sunat ini.
Niatnya:

أُصَلِّي سُنَّةَ الضُحَي رَكْعَتَين ِللهِ تَعَاليَ
Saya niat shalat dhuha dua rakaat karena Allah.

Tambahan pula antara ibadat sunat yang dianjurkan dan menjadi amalan Rasullullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ialah solat sunat Dhuha. Banyak hadis-hadis yang mengalakkannya dan menyatakan keutamaan mengenai solat sunat ini, antaranya dalam riwayat Abu Hurairah katanya:
“Kekasihku Rasullullah SAW telah berwasiat kepadaku tiga perkara, aku tidak meninggalkannya, iaitu ; supaya aku tidak tidur melainkan setelah mengerjakan witir, dan supaya aku tidak meninggalkan dua rakaat solat Dhuha kerana ia adalah sunat awwabin, dan berpuasa tiga hari daripada tiap-tiap bulan” - Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim
Dalam riwayat yang lain Rasullullah SAW pernah bersabda yang maksudnya :
“Pada tiap-tiap pagi lazimkanlah atas tiap-tiap ruas anggota seseorang kamu bersedekah; tiap-tiap tahlil satu sedekah, tiap-tiap takbir satu sedekah, menyuruh berbuat baik satu sedekah, dan cukuplah (sebagai ganti) yang demikian itu dengan mengerjakan dua rakaat solat Dhuha .” – Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim
Semoga artikel mengenai Hikmah Shalat Dhuha dapat bermanfaat untuk sahabat pembaca. Sekian dan terima kasih saya ucapkan untuk para sahabat yang telah share ke postingan saya ini dalam blog hikmah kehidupan.